Inspirasiku

Kamis, 30 Desember 2010

Benarkah Rakyat Indonesia Miskin?

Oleh : Imam Jarkasi

KabarIndonesia - Pada kenyataannya bangsa Indonesia tidak terlalu miskin untuk tetap bertahan sebagai sebuah negara. Hasil bumi tetap melimpah ruah, jumlah penduduk semakin bertambah. Tidak banyak dijumpai masyarakat yang benar-benar miskin, hanya malas berpikir atau malas berusaha atau malas belajar atau malas bersyukur kepada Tuhan. Intinya “malas”.

Saya setengah setuju bila dikatakan sebagian besar rakyat Indonesia benar-benar tergolong miskin. Mungkin dari segi sandang-pangan-papan bisa dikatakan seperti itu, tapi dari segi mental saya sangat membenarkan. Istilah yang paling tepat adalah kemiskinan mental.

Kemiskinan mental ini tidak hanya terjadi pada masyarakat dengan perekonomian pas-pasan, namun juga melanda orang-orang yang kaya secara materi. Hal ini bisa saya buktikan dengan beberapa contoh, pertama, kebiasaan merokok. Saya yakin sebagian besar masyarakat di Indonesia adalah perokok, mungkin salah satunya Anda. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa rokok itu benar-benar sedikit manfaatnya bila tidak mau dikatakan tidak ada dibandingkan kerugian.

Rakyat Indonesia kerap mempermasalahkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), namun tidak mengerti apa itu HAM, apa saja yang termasuk HAM, dan apa konsekuensi pelanggaran HAM. Sadarkah kita bahwa hidup layak dengan
menghirup udara segar tanpa tercemar asap rokok juga termasuk HAM? Seharusnya orang yang merokok juga diadili karena telah mengurangi HAM orang lain dan mereka pantas mendapatkan hukuman layaknya pelanggaran HAM lainnya. Benar?

Dari segi kesehatan, ribuan penelitian menyebutkan setiap sentimeter kubik asap rokok mengandung jutaan macam racun dan zat berbahaya bagi kesehatan. Tapi apa kaum perokok pernah menyadari hal itu? Tidak, justru mereka
mencari-cari pembenaran dengan berbagai olokan yang seolah-olah masuk akal.

Hal yang lebih memberatkan, kenyataannya sebagian besar perokok adalah masyarakat yang miskin. Padahal harga rokok tergolong mahal bila dibandingkan dengan makanan bergizi. Misalnya, satu bungkus rokok rata-rata berharga Rp 6.000,00 atau lebih, sementara Anda dapat membeli sesisir buah pisang dengan harga tersebut. Jadi amat mengherankan bila sampai terjadi anak meninggal karena kurang gizi, sementara orangtuanya mampu membeli
rokok. Siapa yang salah? Tidak bisa dipungkiri bahwa pajak bagi negara yang dihasilkan dari rokok sangatlah besar. Namun satu hal yang kita lupa bahwa rokok juga telah “membunuh” rakyat Indonesia pelan-pelan tapi pasti.

Berbagai macam penyakit yang berhubungan dengan rokok telah menyebabkan kematian, namun tidak membuat orang jera untuk merokok. Kenyataan ini menggambarkan rakyat Indonesia malas berpikir untuk mencari alternatif cara lain meningkatkan pendapatan negara selain dari rokok. Apakah negara kita tetap akan bertahan hidup dengan membunuh rakyat sendiri? Atau rakyat yang merokok tidak pernah menyadari bahwa mereka menjadi “tumbal” pembangunan dengan diberikan sedikit kenikmatan sesaat (baca: rokok).

Terkadang kaum perokok bangga dengan kekonyolan bunuh diri ini. Mereka merasa jantan bila telah menghisap rokok, padahal kaum waria (banci/bencong) juga merokok. Oleh karena itu, hanya orang yang tidak menghargai hidup yang mau merokok. Mereka tidak bersyukur kepada Tuhan atas hidup yang diberikan kepadanya. Bagaimana mereka akan mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Tuhan?

Kedua, masyarakat belum mampu memilah dan memilih kebutuhan sesuai dengan prioritasnya. Sebagian masyarakat masih menghabiskan uang yang mereka miliki untuk membeli yang belum menjadi prioritas kebutuhannya, misalnya masyarakat miskin yang membeli rokok, kosmetik, bahkan barang elektronik, misalnya televisi, lemari es, atau bahkan handphone (HP). Sampai-sampai saat ini tukang becak pun sudah menggunakan HP karena harganya semakin murah.

Saya tidak tahu apakah rokok, kosmetik, dan barang elektronik tersebut lebih penting bagi orang miskin daripada makanan dan pendidikan anaknya. Bagaimanapun murahnya harga HP, tetap saja harga makanan bergizi jauh lebih
murah. Seharusnya masyarakat lebih memprioritaskan masalah kesehatan dan pendidikan karena ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun juga tanggung jawab masyarakat itu sendiri.

Sebenarnya menjaga kesehatan jauh lebih mudah daripada mengobati penyakit, malah terkadang tidak membutuhkan biaya. Misalnya berhenti merokok dan berlari-lari kecil di sekitar rumah setiap pagi, tidak perlu ke tempat olahraga khusus dan mengganti rokok dengan buah-buahan segar, tidak mesti mahal. Buah yang paling tinggi kandungan vitamin C adalah buah jambu batu, bukan buah anggur. Buah pepaya dapat melancarkan buang air besar. Buah pisang membantu mengontrol tekanan darah dan sebagai obat mencret.

Ketiga, masyarakat sulit beradaptasi dengan masalah hidup dan kehidupan yang terjadi. Misalnya harga minyak goreng naik, kita tetap dapat memasak telur dan sayur dengan merebusnya, tidak mesti memaksakan menggunakan minyak goreng. Ikan bisa digulai atau dipindang. Bila kita tidak mampu membeli ikan dan daging, kita bisa menggantinya dengan tahu dan tempe yang proteinnya setara dengan daging, atau memvariasikannya dengan telur. Selain itu, masalah lapangan pekerjaan juga sering menjadi kebingungan masyarakat. Sebagian besar masyarakat sangat tergantung dengan mata pencahariannya saat ini. Sehingga bila terjadi sesuatu yang menghalangi pekerjaannya atau kehilangan mata pencahariannya, mereka putus asa dan tidak tahu harus bagaimana mencari solusinya.

Perlu kita sadari, hanya manusia yang ulet dan kreatif yang mampu bertahan dengan masalah seperti itu. Kita tidak jarang melihat orang yang berhasil secara ekomoni adalah orang ulet dan kreatif yang menyicil usahanya dari hal-hal kecil yang dianggap sepele oleh orang lain, meskipun mereka berasal dari orang yang berada. Mereka mau mencari peluang usaha lain bila menemukan jalan buntu, tidak menyerah pada nasib.

Keempat, sebagian besar masyarakat masih malas belajar. Belajar tidaklah harus di bangku sekolah. Kita dapat belajar di mana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari kesalahan sendiri, pengalaman orang lain, dan belajar kepada alam. Pemerintah telah berusaha menaikkan anggaran pendidikan dan memberikan bantuan pendidikan. Seharusnya ini juga mendapat perhatian dari masyarakat untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Uang yang digunakan untuk membeli rokok, kosmetik, dan barang elektronik ditabung untuk membeli buku pelajaran anak-anak.

Satu kekeliruan yang tetap dipertahankan dan diwariskan turun temurun adalah pemahaman bahwa belajar di sekolah untuk mendapatkan pekerjaan dan menjadi orang kaya. Hal ini telah sangat menjatuhkan harkat dan martabat sekolah dan lembaga pendidikan sehingga menjadi kehilangan identitas yang benar. Lembaga pendidikan seharusnya mendidik dan mencetak manusia berkualitas yang mampu mengabdi pada masyarakat. Jadi segala kemampuan dan keahlian yang didapat melalui lembaga pendidikan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bukan hanya untuk kepentingan pribadi. Misalnya seorang insinyur yang menciptakan mesin pembangkit listrik sederhana menggunakan aliran sungai
yang kecil atau menciptakan biogas dari kotoran ternak.

Selain bermanfaat bagi masyarakat, tentu ini dapat membuka lapangan pekerjaan. Apakah kita tidak bangga dengan Pak Habibie yang bersekolah tinggi jauh-jauh ke luar negeri mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan mendirikan pabrik pesawat? Bukankah ini yang dikatakan mampu mengabdi pada masyarakat?

Kelima, tidak jujur. Kejujuran merupakan hal sederhana yang sulit dilakukan pada saat hal itu diuji. Misalnya, ketika ada kesempatan mengambil barang yang bukan miliknya, sebagian orang cenderung untuk mengambil. Istilah mereka “mumpung ada kesempatan”. Beginikah mental kita? Contoh lain, ada sebagian masyarakat yang terdaftar sebagai peserta Askeskin, sementara pada kenyataannya tidak benar-benar miskin. Mereka bukan tidak mampu, hanya pelit dan takut benar-benar miskin bila berobat.

Keenam, malu atas bangsa sendiri. Tidak sedikit rakyat Indonesia yang tidak bangga dengan bangsanya. Kita merasa lebih bangga bila menggunakan produk luar negeri, berobat ke luar negeri, atau identitas dan budaya yang “luar negeri”. Bangsa Indonesia hampir kehilangan identitasnya karena rakyat Indonesia lebih mencintai luar negeri.

Ketujuh, korupsi dan suap menyuap. Meskipun kebiasaan turun temurun ini telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, sepertinya sebagian orang tidak merasa takut untuk tetap melakukannya. Semakin banyak kasus yang
terungkap, semakin banyak pula dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Alangkah memalukannya bila kita sampai memakan yang bukan menjadi hak kita. Dana operasional pendidikan yang disunat atau dana proyek pembangunan yang dipangkas. Semuanya diatasnamakan sebagai “uang lelah” atau “uang terima kasih”.

Di samping itu, sebagian dari kita masih menghitung “jasa” yang kita berikan dengan uang. Padahal setiap bantuan yang diberikan tidaklah dapat diukur dengan uang karena selain terlalu kecil, juga tidak sebanding. Misalnya ketika menemukan dompet di jalan. Saya yakin sebagian masyarakat -atau mungkin kita- akan berharap diberikan imbalan karena telah menemukan dan mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya.

Ketujuh hal di atas hanya sebagian dari contoh kemiskinan mental rakyat Indonesia. Kemiskinan mental ini telah menjangkiti sebagian besar rakyat Indonesia secara turun temurun. Kenyataan ini telah menjadi sesuatu yang melekat erat dan menjadi identitas tersendiri bagi sebagian dari rakyat Indonesia. Tidak ada cara lain selain memperbaiki mental rakyat Indonesia. Perbaikan ini mesti disertai keinginan kuat untuk berubah dan melepas identitas buruk tersebut, serta dukungan seluruh rakyat Indonesia.

Sumber: http://www.kabarindonesia.com yang dimuat pada tanggal 21 September 2008 dalam rubrik Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar